Senin, 05 April 2010

Pelajaran Bersyukur dari Perjalanan bersama KRL

Tugas pertama  Feature dari seorang dosen yang asyik, beliau masih muda,,, seorang editor di majalah Femina,, mantapplah orangnyaaa...


Tugasnya disuruh bikin tulisan feature tentang KRL,, semua yg berkaitan dengan KRL,, huahaahahaaaa... secara tiap hari lahhh naek kretaaa... mewawancari seorang ibu2 pemulung sambil ngikutin dia bekerja, mengumpulkan gelas dan botol bekas minuman...






banyak hal yang saya dapet,, selain bahan buat saya nulis ada juga pelajaran yang saya ambil,, pastinya Bersyukur....
yupp.... saya memang harus sering2 lihat ke bawah,, biar makin bersyukur,, dengan apa yang udah Alloh kasih buat saya,,,


hmmmm.. okeeee.. ini diaaa tulisan FEATURE saya......



Memilih untuk kuliah tidak di Bogor tempat tinggal saya dan memilih untuk setiap hari menggunakan KRL Jakarta-Bogor telah menjadi pilihan saya, saat memutuskan melanjutkan pendididkan di bangku kuliah tepatnya di kampus tercinta IISIP Lenteng Agung Jakarta.
            KRL menjadi transportasi utama yang setiap hari saya rasakan nadinya, dimana saat ia menjadi sahabat, yang setia mengantarkan saya pulang pergi dengan waktu yang singkat, atau menjadi sesuatu yang menyiksa, ketika saya harus menaikinya dalam keadaan yang padat, harus rela badan kita bagaikan ikan-ikan yang akan dijual di pasar.
            Ada satu hal diluar dari masalah-masalah yang ada di KRL yang menarik perhatian saya, bukan soal kenyamanan atau keamanan lagi. Ada satu hal di KRL yang banyak memberikan inspirasi terutama di KRL ekonomi atau stasiun. Seperti halnya pada 30 maret lalu, saya dengan seorang teman pulang, melihat sosok ibu-ibu memegang besi dan karung putih yang sudah lusuh, dengan langkah gontai, ibu berbaju putih tersebut terlihat mondar-mandir disekitar jalur 5 dan 6 Stasiun Bogor. Setiap ada KRL ekonomi yang baru datang, ia tidak kalah sigap dengan calon-calon penumpang KRL yang akan berangkat kembali menuju Jakarta.
            Setiap hari ketika saya berangkat atau pulang, pemandangan menggugah hati hadir di depan mata, seluruh bentuk dari pengemis ada. Mulai anak cacat yang dibawa ibunya untuk meminta-minta pada setiap penumpang, pasangan suami istri tuna netra yang berduet menyanyikan lagu romantis, atau ibu-ibu muda yang masih mengandalkan anaknya untuk diberi belas kasihan dengan menyapu lantai KRL, sampai anak bermuka orang tua yang dengan suara lantang mengatakan, “ Om, Tante… bagi duitnyaa, aku belom makan dari kemareenn..!!!” setiap hari dengan kata-kata yang sama.
            Pemandangan-pemandangan tersebut sangat asing pada awal saya naik KRL, rasa ingin meneteskan air mata tiap melihat mereka, namun sudah 3 semester ini, mereka lalu lalang dihadapan saya, membuat saya malah jengah, dan berfikir. “Mengapa manusia sampai sebegitunya untuk memperoleh uang, sampai menurunkan harga diri mereka dengan cara mengemis??”
            Lain dengan seorang yang saya temui sore itu, dengan cuaca sedikit mendung dan udara dingin khas kota Bogor, saya dan Reza-teman pulang saya- baru keluar dari KRL. Suasana riuh layaknya di pasar hadir, entah pengamen yang membuat jalan malah semakin sempit karena alat-alat musik mereka yang besar, atau para pedagang yang silih berganti menawarkan dagangannya tapi sosok ibu yang sedang memasukan gelas Aqua yang baru dibuang salah seorang penumpang, menarik minat kami untuk mengobrol dengan nya.
            Kalimat pertama yang terlontar ketika kami minta izin untuk mengobrol dengan ibu itu adalah.. “Silahkan Neng, Muhun!!”  dengan ramahnya. Saya dan Reza, menginginkan ibu tersebut untuk tetap bekerja, tetap mencari gelas bekas disekitar stasiun, biarkan kami yang mengikuti ia dari belakang. Ibu Nurjanah, itulah nama ibu yang saya sedang amati sekarang, matanya tidak lepas mengawasi sekitar, walaupun mulutnya masih tetap berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Mata lugunya tak henti-hentinya mencari botol,gelas plastik serta kardus bekas untuk segera ia masukan ke karung.
 
            Ibu 2 orang anak ini, menjadi pemulung di stasiun Bogor sudah 5 tahun lamanya, membantu sang suami yang hanya seorang penjaga keamanan kampung. Dengan pendapatannya yang pas-pasan ia mengharapkan mampu membantu suami untuk kebutuhan sehari-hari serta untuk membiayai anak bungsunya yang masih SMP. Pukul 13.00 ia siap untuk menjalankan pekerjaan di stasiun setelah menyelesaikan tugas rumah tangga dan kembali kerumah saat tiba waktu untuk solat Ashar.
            Sesekali terlihat senyuman di wajah Ibu Nurjanah di sela-sela ceritanya pada kami. Memang senyuman getir yang saya rasakan, apalagi ketika ia melihat saya kaget bukan main saat saya mengetahui 1 kg dari botol dan gelas plastik bekas minuman itu banyaknya 240 buah. Jadi setiap harinya Ibu Nurjanah harus mengumpulkan 200an lebih botol dan gelas plastik yang bila dijual kepada pengumpul seharga Rp 5.300,00, dan itupun sudah harus bersih.
            Sungguh bukan pekerjaan yang mudah, dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam mencari, bahkan kardus-kardus bekas yang kadang ia temukan dalam keadaan basah, sehingga harus dijemu terlebih dahulur. Satu lagi, saya juga berkunjung ke tempat penyimpanan barang-barang yang sudah Bu Nurjanah kumpulkan, yaitu di bawah peron yang berada di antara jalur 7 dan jalur 6.
            “Sekarang baru sedikit, padahal udah sore, kalo musim ujan emang gini, gak gerah, jadi jarang yang beli minum.” Ujar Bu Nurjanah menjelaskan jumlah yang sudah ia kumpulkan hari ini. Ucapan ia kemudian langsung disetujui Reza. Menurut teman kampus sekaligus tetangga saya ini, kalau musim hujan otomatis dingin, dipastikan males minum, takut pengen buang air kecil. Ya.. Bener juga dia…
            Obrolan sore yang menyenangkan ini dilakukan sambil jalan di rel kereta yang kosong, sambil sesekali Bu Nurjanah keluar dari jalur karena harus mengahampiri gelas plastik yang akan ia ambil. Begitu saya dan Reza tidak ada pertanyaan lagi, Bu Nurjanah memberikan nasehat yang hanya kami balas dengan anggukan kecil. “Sekolah yang bener ya Neng, Jang.. Jadi orang sukses biar banyak duit, jangan kaya ibu..” kami benar-benar diam, tak mampu lagi berkata-kata, sambil terus kaki kami melangkah ke “Basecamp” Bu Nurjanah.
            Kadang, saya bersyukur telah memilih untuk setiap hari menggunakan KRL, walaupun banyak yang gak enak. Namun, banyak hal juga yang bisa di pelajari dari perjalanan yang setiap hari saya lakukan. Saya semakin bersyukur akan hidup ini, hidup yang telah Tuhan beri. Jangan pernah mengeluh karena uang jajan yang tak kunjung bertambah atau bonus dari kantor orang tua yang tidak sering datang. Ingatlah Ibu Nurjanah yang hanya mendapatkan Rp 5.300,00 perhari atau Ibu Nurjanah lainnya di sekitar kita.
 Maka, Nikmat Tuhan yang Manakah Yang Kau Dustakan??(QS. Ar-Rahman)
            








ini.. tempat Ibu Nurjanah menaruh,, hasil pencariannya,, katanya biar gak keujanan.... 


:)) yg kolong di bawah peron itu....
















 Alloh beserta orang-orang yang sabar....


Ya Alloh.. limpahkan rezeki kepada umat Mu..
Kami hanya sanggup meminta , dengan segala kerendahan diri kami,,
Curahkan lah rahmat Mu.. selalu pada kami..


Aamiin....






(tulisan feature jadi kayak ceramah.. hihihihiihihi... :) )

1 komentar:

nana anggraini mengatakan...

terharu bgt bacanya...(nana pnya jg kisah yang hampir sma kyk gini,tp blm sempat dposting)